Batakberkesan Weblog

memorie`s & future of Batax`s

Golput bagaikan hantu di setiap pilkada

Batakberkesan Weblog › Sunting — WordPress

Menjelang pilkada bupati Taput dan pemilu 2009, seperti pemilu sebelumnya dan yang terjadi di beberapa tempat, timbul kekhawatiran di berbagai pihak (terutama elit partai politik) terhadap membengkaknya jumlah GOLPUT (golongan putih). Golput/ golongan putih yang lebih dikenal orang ketika ada seseorang yang tidak memilih dalam suatu pemilihan. Padahal banyak aspek/ alasan kenapa seseorang tidak memilih atau tidak sahnya suatu surat suara yang menurut pemahaman masyarakat juga dikelompokkan sebagai golput.

Secara umum golput bisa dikarenakan oleh permasalahan administratif dan teknis yaitu tidak dan belum terdaftarnya seseorang dalam suatu pemilihan (domisili yang berpindah-pindah, belum memakai KTP nasional/tidak ada surat keterangan pindah, dll), surat suara yang tidak dicoblos/surat suara dianggap tidak sah, ketika hari pemilu berada di perjalanan. Bisa juga dikarenakan masalah prinsip yaitu sengaja tidak mendaftarkan diri karena sudah tidak ada kepercayaan lagi terhadap calon-calon dalam pemilu, atau sebagai sikap apatis terhadap pemilu & sikap protes terhadap sistem pemilu yang sekarang (di beberapa kasus di daerah pernah terjadi boikot pemilu oleh sekelompok orang/anggota partai terhadap partainya, dll). Dan berbagai macam alasan kenapa terjadi golput.

Fenomena Golput bukanlah hal yang baru, hal ini terjadi sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955. pada masa itu golput diartikan sebagai ketidaktahuan masyarakat terhadap pemilu. Berbeda ketika zaman orde baru, golput diartikan sebagai gerakan moral dan sikap protes terhadap pola kepemimpinan Soeharto. Gerakan moral golput semakin dikenal ketika Arief Budiman beserta aktivis mahasiswa lainnya menggorganisir masyarkat untuk golput. Hal itu direspon oleh pemerintah dengan tindakan represif, sehingga sekitar tahun 1992 sampai tahun 2000 banyak aktivis dan tokoh politik yang ditangkap dan menghilang karena kampanye golput. Sebut saja Muchtar Pakpahan pernah menjadi tahanan politik, Budiman Sujatmiko (Tokoh Partai Rakyat Demokratik), dll. Golput pernah diharamkan oleh pemerintah. Tetapi wacana golput selalu timbul dan hangat di setiap menjelang pemilu.

Memilih untuk tidak memilih

Sebagai bagian dari kehidupan bernegara, seorang warga negara tentunya memiliki hak dan kewajiban dalam interaksi hidupnya. Dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia) secara gamblang diutarakan dalam konvensi PBB yang juga telah diratifikasi dalam UU RI (Undang-undang Republik Indonesia) yang salah saru bunyi ponitnya adalah bahwa setiap warga negara memiliki haknya dalam menentukan pilihannya di setiap Pemilihan Umum (termasuk di dalamnya adalah Hak untuk tidak memilih). Serta menjadi kewajiban Negara (dalam hal ini yang dimaksud adalah Pemerintah) untuk melindungi dan menjamin hak warga negara tersebut berjalan dengan baik. Karena dalam Pemilihan umum tersebut secara langsung warga negara dimanapun dia , ketika mereka telah menentukan haknya dalam pemilu (mencoblos calon eksekutif/legislatif/partai ataupun mereka tidak mempergunakan hak pilihnya yaitu memilih untuk tidak memilih dengan berbagai alasan tentunya) maka seorang warga negara telah menyerahkan sebagian haknya kepada institusi negara untuk menjalankan roda pemerintahan yang didalamnya termasuk untuk membuat peraturan perundang-undangan yang akan mengatur kebijakan publik. Kebijakan publik tersebut (dalam bentuk hukum perundang-undangan dari atas yaitu UU hingga Keputusan Lurah/Desa) akan mengatur semua aktivitas masyarakat (termasuk kepentingan privat seperti perkawinan, waris, dll) sampai mengatur aktivitas masyarakat yang umum/publik (contohnya pengaturan tentang prasarana umum jalan, lalu lintas, dll).

Hal ini menggambarkan bahwa memang benar Pemilihan Umum di segala level (Pilpres, pilgub, pilbup, pilkades dan pemilihan anggota legislatif) akan sangat menentukan arah dan perubahan suatu daerah dalam periode tertentu. Karena tidak gampang untuk merubah/menggantikan suatu pemimpin yang sedang berjalan (apalagi jika kita melihat sejarah Indonesia, presiden yang pernah jatuh dalam kepemimpinannya terjegal karena permasalahan politis). Dengan tingkat kesadaran yang penuh atau real maka suatu pilihan untuk golput sebenarnya suatu sikap dan upaya terakhir jika tidak ada pilihan lain yang dipercaya ataupun tidak ada cara lain yang bisa ditempuh.

Jadi wajar saja jika ada gerakan Golput yang dilakukan oleh beberapa kelompok kecil dalam setiap kesempatan pemilu. Partai politik dan lembaga pemerintahan sangat mewaspadai gerakan golput. Seperti yang pernah diutarakan oleh Ketua DPP suatu partai besar di Indonesia di beberapa media massa bahwa orang yang golput dalam pemilu 2009 nanti adalah bukan Warga Negara Indonesia. Hal ini langsung mendapat respon dan kritikan keras dari beberapa aktivis hukum dan HAM. Pada hakikatnya memilih adalah HAK setiap warga negara, sehingga ketika seseorang menentukan pilihan untuk tidak memilih itu adalah HAKnya. Telah timbul kerisauan di beberapa partai besar di Indonesia karena fenomena Golput semakin menonjol di masyarakat (bisa kita lihat di beberapa Pilkada di beberapa daerah belakangan ini yang menunjukkan lebih dari 25 % warganya yang tidak memilih). Karena legitimasi kesuksesan suatu pemilu ada pada kuantitas partisipasi warga negara yang berhak dalam pemilu. Asas demokasi dalam pengetian dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat yang juga bisa diartikan sebagai suara terbanyak yang menang (50+1). Bagaimana jika kuantitas golput menjadi pemenang dalam suatu pemilihan?apakah pemilu tersebut absah atau sah? Bagaimana juga dengan kekuatan demokratisasi sang pemenang pemilu tersebut dalam melakukan proses pemerintahannya. Bisa kita hitung-hitungan secara kasar jika jumlah pemilih ada 300.000 ribu, lalu jumlalh kandidat ada 6 pasang calon kepala daerah. Kalau pemenang hanya mendapatkan 30% dari jumlah pemilih berarti Cuma 90.000 orang yang memilihnya dan ada sekitar 40% orang tidak melakukkan pemilihan/golput dan sisanya di pasangan lainnya.

Yang terpenting dari segala perdebatan dan fenomena diatas sebaiknya dikarenakan oleh KESADARAN seutuhnya warga negara itu sendiri yang sepenuhnya. Karena peranan rakyat dalam segala hal aspek publik tentunya sangat mempengaruhi arah kemajuan bangsa. Oleh karena itu dianggap penting untuk melakukan pendidikan politik bagi setiap warga negara, baik dengan kaderisasi oleh partai ataupun dalam sistem pendidikan formal supaya GOLPUT tidak menjadi HANTU di setiap Pilkada.

Jerry Marbun

12 September 2008 - Posted by | Uncategorized | ,

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar