Batakberkesan Weblog

memorie`s & future of Batax`s

Naniura

Hidangan ini merupakan makanan khas suku Batak.
Berbeda dengan Arsik, makanan khas Batak lainnya yang direbus atau dikukus, menu yang juga mengunakan ikan mas sebagai menu utama adalah dengan cara tidak dimasak.
Arti dalam bahasa batak, naniura adalah ikan yang tidak di masak.
Namun rendaman asam jungga yang secara kimiawi kemudian mengubah ikan mentah menjadi tidak terasa amis dan siap disajikan.
Ingin mencoba?
Bahan-Bahan :
0,5 kilogram ikan mas
3 biji asam jungga
0,25 ons andaliman
1 onskemiri
5 cm lengkuas
5 cm kunyit
2 ikat rias
5 siung bawang merah
3 siung bawang putih
Kacang goreng tumbuk secukupnya
setengah ons cabe merah
Cara memasak :
1. Ikan mas dibersihkan dari sisik, kemudian ikan dibelah dua dari punggung ikan. Duri ikan dikeluarkan semuanya. Sesudah bersih, ikan digarami dan diasami. Dibiarkan selama 6 jam.
2. Kemiri di gongseng, dibiarkan dulu. Jahe, kunyit, bawang merah dan putih di goreng. Kemudian rias dikukus, sedangkan cabe digiling. Seluruh bumbu kemudian diulek (tumbuk).
3. Bumbu dimasukkan atau diolesi ke permukaan ikan. Biarkan paling tidak 1 jam lagi.
4. ketika akan di hidangkan taburkan kacang goreng tumbuk secara merata di atas ikan mas, Siap dihidangkan
(berbagai sumber)
naniura

24 Januari 2009 Posted by | opini | 2 Komentar

Ombus-ombus las kede… (Snack tradisional batak part 3)

Parombus ombus do…
lampet ni humbang I, mancai tabo ….
sepenggal lagu khas humbang (siborongborong red), yang di populerkan oleh artis top batak, Viktor Hutabarat, mengingatkan kita pada kota ombus-ombus, Siborongborong.
Persis dipertigaan, kota Siborongborong, sebelumnya lebih dikenal dengan simpang tugu, para pedagang ombus-ombus berjibaku sudah hampir 4 generasi yang lalu, menawarkan dagangannya hampir kesetiap penumpang angkutan umum maupun angkutan pribadi.
Sekitar tahun 1979 yang lalu para pedagang ombus-ombus tersebut tidak hanya diwilayah Siborongborong (SBB), bahkan sampai ke Balige (28 km dari SBB) dan tarutung (30 km dari SBB) dengan menggunakan sepeda. “Waktu itu, pedagang ombus-ombus ada sekitar 80 unit, jadi kita menyebar, bahkan ada yang sampai Dolok Sanggul (32 km dari SBB), dan terhimpun dalam koperasi parombus-ombus.
Ombus-ombus dibuat dari bahan tepung beras pilihan, yang dicampur dengan gula putih serta diaduk dengan kelapa parut dan sebagian lagi menggunakan gula merah kemudian dibungkus dengan daun pisang lantas dikukus layaknya seperti membuat panganan dari tepung beras lainnya.
“Tepung beras yang digunakan adalah pilihan dan tidak bisa sembarang, dan kelapa harus diparut tangan (manual), jika dengan parutan mesin, patinya akan hilang, serta daun pisang pembungkus yang digunakan juga tidak sembarangan yaitu jenis ‘ucim’ (pucuk teratas daun) karena sangat berpengaruh terhadap rasa ombus-ombus.
Pengerjaan membuat ombus-ombus dimulai dari pengadukan tepung dengan air panas mendidih, kemudian pada jam 3 dini hari dilakukanlah pembungkusan serta pemberian gula, lalu dikukus dan jam 7 pagi, ombus-ombus siap dipasarkan. Prihal ombus-ombus tetap panas meskipun dijajakan seharian penuh, Tampubolon, menjelaskan bahwa tehnik penyusunan ditandan penyimpanan adalah kunci utama.
Yang membuat ombus-ombus tersebut menjadi khas, adalah salah satu sisi pelipatan daun menjadi empat persegi, dan ini disusun dengan rapat pada kantongan tandan, lalu dimasukkan kedalam kaleng yang ditempatkan pada gerobak sepeda, “inilah yang membuat ombus-ombus tetap hangat meskipun dijajakan seharian penuh”, ungkap Tampubolon salah seorang pedagang ombus-ombus dengan gerobak biru di sepedanya.
Keberadaan pedagang ombus-ombus saat ini mulai tergeser oleh maraknya makanan-makanan instan dan snack pabrikan yang membanjiri pasar. Ini terlihat dari jumlah pedagang ombus-ombus yang tinggal hanya 11 gerobak yang terbagi dalam 2 group untuk beraplusan/bergantian. “Kami berdagang rutinya, hanya sekali dua hari, itupun kadang kala dagangan kami tidak habis terjual,” ungkap Tampubolon dengan sedikit lesu. Ditambahkannya bahwa berdagang ombus-ombus awalnya dapat menopang kehidupan keluarga, “rumah ini terbangun dari usaha dagang ombus-ombus dan anak-anakku juga berhasil sekolah meskipun hanya tamat SMU dari usaha ini,” jelas Tampubolon. (jery marbun & Tani Siringoringo_Tapanuli News)

20 Januari 2009 Posted by | snack tradisional batak | , | Tinggalkan komentar

dali (kuliner khas batak)

Dali atau bagot ni horbo yakni, air susu kerbau yang diolah secara tradisional dan merupakan makanan khas dari daerah Tapanuli.
Konon menurut ceritanya, tradisi mengolah susu kerbau menjadi dali sudah dimulai oleh leluhur orang batak semenjak adanya komunitas batak. Pada setiap rumah makan khas batak, dali menjadi menu utama. Untuk mendapatkan dali, umumnya di setiap onan (pekan, red) didaerah Tapanuli, dali menjadi komoditas dagangan.
Kandungan giji pada dali, secara umum, tidak berbeda dengan kandungan gizi susu lainnya seperti, lemak, karbohidrat dan protein, hanya berbeda pada pengolahan, dali diolah dengan sederhana dan menggunakan peralatan tradisional dan tidak menggunakan unsur kimia.
Induk kerbau yang susunya akan perah, bila bayi kerbau berumur 1 bulan, hal ini dimaksudkan bahwa pasca melahirkan bayi kerbau belum mampu mengkonsumsi makanan biasa, dan masih mengandalkan air susu induknya selama satu bulan penuh.
Pemerahan kerbau untuk mengambil susunya, dilakukan sekitar jam 6 pagi hari, hal ini dimaksudkan agar anak kerbau tidak terganggu dari kebiasaan menyusui. Banyaknya susu yang dapat diperah dari seekor induk kerbau rata-rata 2 liter perhari, “sebenarnya kalau dioptimalkan bisa 3 hingga 4 liter perhari, tetapi pertimbangan untuk kebutuhan anak kerbau kita hanya perah sekitar 2 liter perharinya dari setiap induk kerbau”.
Sebelum susu kerbau di perah, terlebih dahulu puting susu dibersihkan dengan air hangat, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerbersihan susu, serta merangsang puting susu.
Seekor induk kerbau dapat diperah susunya hingga 5 bulan, akan tetapi anak kerbau mengkonsumsi susu induknya bisa sampai 8 bulan, menurut Paian dibulan ke 6 pasca melahirkan kwalitas susu sudah tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Untuk menambah kwalitas dan kwantitas susu, induk kerbau diberikan makanan ekstra, ubi jalar dan dedak diaduk dengan garam secukupnya serta dicampur dengan beberapa jenis vitamin.
Proses selanjutnya, susu hasil perahan di rebus sekitar 10 menit dalam wadah yang steril dengan menambahkan air nenas untuk membantu pengentalan susu serta mengurangi aroma keamisan.
dali juga bisa dicampurkan dengan air perasan daun pepaya.
Konon katanya beberapa pelanggan memesan susu kerbau mentah untuk keperluan obat tradisional.
Pada zaman moyang kita dulu, wadah untuk perebusan susu masih dari kuali tanah, namun dikondisi sekarang kuali tersebut sulit didapatkan. Dari sisi rasa, perebusan di wadah kuali tanah jelas lebih baik dikarenakan panas yang diserap dalam perebusan susu berbeda dengan wadah kuali nikel yang lazim digunakan sekarang.
Harga jual di onan/pasar tradisional di tapanuli menggunakan ukuran kobokan sekitar 1 liter dijual seharga 20ribu rupiah.”Sebenarnya, mengolah dali sangat sederahana, tetapi peternak kerbau disini tidak memberikan perhatian untuk mengolah dali”.
mengenai rasanya & bentuknya seperti kembang tahu (liha foto)
bagaimana…?? anda tertarik
pak simanjutak & anak horbonya memerah susu horbo di pagi hari
dali ready to eat… yammi

19 Januari 2009 Posted by | opini | 2 Komentar